Kolaboraksi Pemuda Berdedikasi

Indonesia kini memang sedang heboh-hebohnya membicarakan prestasi ekonominya yang bisa dibilang meningkat deras. Memang benar, perekonomian kita saat ini selalu dipuji IMF dan bahkan sampai diprediksikan bahwa kedepannya Indonesia akan meningkat posisinya yang semua urutan ke-15 perekonomian terbesar di dunia. Boleh kita sebagai mahasiswa berbangga diri. Indonesia sudah mempunyai potensi untuk menjadi negara maju dengan pembangunannya yang semakin meningkat tajam. Namun, apa masyarakat juga menyadari hal itu? Masyarakat hanya memikirkan bagaimana mereka dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari. Bagaimana mereka menghidupi keluarganya. Bahkan bisa dibilang masyarakat sebagian besar kurang paham dengan perkembangan perekonomian negaranya saat ini.
Masih ingatkah kalian dengan kisah Tan Malaka? Sosok cerdas yang lahir di tengah-tengah hiruk pikuknya penjajahan. Hidup dipenuhi kecemasan dan dalam pelarian tiada henti. Semua itu diperjuangkannya demi pendidikan rakyat Indonesia. Ia mengabdi sebagai pengajar sekolah rakyat dan memang terbukti jika pendidikan dapat mengubah suatu bangsa. Tan Malaka yang mampu menguasai 8 bahasa tersebut menjadi sosok pahlawan yang mengajarkan pada rakyat bahwa pendidikan tidak semata-mata hanya untuk mendapatkan jabatan.
Negara maju tentu memiliki banyak indikator, bukan hanya dari hasil alamnya saja. Kita bangsa Indonesia memang patut berbangga karena memiliki hasil alam yang sangat melimpah ruah. Namun, pernahkah terlintas bahwa kekayaan itu belum membuat rakyat sejahtera dan bebas dari belenggu kemelaratan? Akar persoalan tidak melulu datang dari penguasa, melainkan kaum intelektual suatu bangsa itu sendiri. Bagaimana kabar SDM kita Indonesia? Apakah sudah cukup berintegritas dalam menghindari permasalahan indeks gini yang tak kunjung tuntas?
Sebenarnya pendidikan tak melulu berhubungan dengan perekonomian, melainkan menjadi langkah awal suatu bangsa dalam merubah pola pikirnya. Dengan meningkatnya angka pendidikan tentunya akan menjadi lebih mudah bagi suatu negara mencapai misinya. Bukan tidak mungkin, Indonesia Emas 2045 akan terwujud jika generasi mudanya mengambil alih pemerintahan. Generasi muda yang menjadi pengubah nasib bangsa ini. Saat ini kita memang masih belum merasakan dampak dari sistem pendidikan yang sempat diubah ini. Namun, dengan meningkatnya perhatian pemerintah pada pendidikan saat ini, peluang Indonesia 27 tahun mendatang untuk menjadi negara maju lebih besar.
Namun, kendala yang sangat kentara di era sekarang yakni pemuda dan smartphonenya. Kita masih terbelenggu dengan adanya teknologi yang satu ini. Fokus pemuda seringkali terpecah. Namun, banyak juga yang memanfaatkannya sebagai alat memperluas pengetahuan terlepas dari keterbatasan riset.
Realita saat ini, memang tidak bisa dipungkiri lagi bahwa pengguna masih jauh lebih banyak dari pencipta. Memang, untuk menggapai perubahan itu tidak cukup mudah mengingat bahwa Indonesia masih negara berkembang yang tergantung pada negara lain produsen teknologi seperti Jepang dan Amerika Serikat. Namun perlu diketahui bahwa potensi Indonesia sudah cukup meningkat pesat karena sumber daya manusianya yang sudah mulai menciptakan sesuatu yang baru. Kolaborasi sangat diperlukan dalam usaha ini.
Pengangguran, kemiskinan, dan pendidikan sudah menjadi koneksi yang sangat masif dan berlangsung lama. Entah mengapa, permasalahan tersebut sungguh sulit untuk dipecahkan sekalipun regulasi yang diberikan pemerintah dinilai sudah cukup membuat kita berekspektasi akan kemajuan. Memang bukan hanya regulasi yang diperlukan disini melainkan ketegasan dan inovasi pemerintah yang kentara dalam mengarahkan ke perubahan.
Pendidikan masih sulit untuk dijangkau rakyat menengah ke bawah mengingat tidak sedikit dana yang diperlukan. Pemerintah terkadang salah sasaran dalam memberikan bantuan yang dianggarkan di APBN. Namun, langkah pemerintah yang membuat anggaran pendidikan di APBN paling tinggi diantara kebutuhan yang lain sudah sangat tepat. Sayangnya, mereka hanya berfokus untuk meningkatkan kualitas pendidikan dengan mengganti kurikulum yang sudah bukan melakukan pemerataan pendidikan sebagai langkah awal terserapnya ilmu bagi seluruh generasi penerus bangsa. Pemerintah seringkali menciptakan inovasi terbaru bagaimana baiknya pendidikan di negara kita ini, namun itu hanyalah sebatas awalan saja yang digunakan sebagai branding mereka. Disini regulasi yang mengatur janji-janji pemerintah seharusnya dapat diatur pula agar pendidikan yang diekspektasikan pada Indonesia Emas 2045 benar-benar terwujud.
Sebelum membahas lingkup penyerapan pendidikan yang lebih dalam, Indonesia masih perlu dibenahi lagi mengenai minat baca. Berdasarkan studi Most Littered Nation In the World 2016 minat baca di Indonesia menduduki peringkat 60 dari 61 negara. Padahal, membaca merupakan hal yang paling dasar dan membentuk kultur generasi muda penerus bangsa. Masyarakat Indonesia masih sulit untuk membentuk pola pikir yang mengutamakan pendidikan. Itulah mengapa investasi buku sangat rendah di kalangan masyarakat. Hanya masyarakat tertentu saja yang mau menyisihkan sebagian besar pendapatannya untuk membeli buku. Membaca juga sangat berpengaruh pada berapa banyak karya ilmiah yang dihasilkan masyarakat. Dengan membaca, motivasi untuk menulis jauh meningkat dan membuat rakyat melek akan literasi.
Berkaca pada pendidikan di Korea Selatan yang terbaik di dunia, ternyata remaja disana dipaksa untuk bersekolah hampir satu hari penuh. Sekolah formal disana bahkan selesai hingga pukul 10 malam. Setelah selesai sekolah formal, tak sedikit dari mereka yang melanjutkan dengan bimbingan belajar di lembaga lain dan ada juga yang meneruskan belajar di rumah. Disana, pola pikir orangtua memang sudah kuat tentang pentingnya pendidikan bagi anak. Tak jarang mereka rela mengeluarkan biaya yang lebih besar hanya untuk membiayai les privat. Itulah mengapa remaja di Korea Selatan sudah terbiasa berada di bawah tekanan. Baiknya, mereka jarang memikirkan hal negatif yang mengarah pada kriminal. Mereka sudah disibukkan dengan membaca banyak buku dan tuntutan persaingan yang ketat.
Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkapkan, pada tahun 2017 telah terjadi kenaikan jumlah pengangguran di Indonesia sebesar 10.000 orang menjadi 7,04 juta orang pada Agustus 2017 dari Agustus 2016 sebesar 7,03 juta orang. Kepala BPS Kecul Suhariyanto mengatakan, pertambahan jumlah pengangguran tersebut disebabkan oleh peningkatan jumlah angkatan kerja di Indonesia.
Setiap tahun, jumlah sarjana yang lulus perguruan tinggi tidak sedikit. Angkatan kerja akan meningkat. Jika mereka terus menganggur tentunya akan menjadi masalah bagi kualitas tenaga kerja Indonesia. Sekedar lulus membuat sarjana-sarjana tersebut malah menjadi pengangguran dikarenakan semakin tinggi pula grade yang diharapkan tiap perusahaan. Atas landasan tersebutlah tercipta gagasan untuk membuat startup pengabdian yang merupakan kolobarasi antara fresh graduate mahasiswa maupun yang masih menjadi mahasiswa dan anak-anak jalanan atau anak terlantar yang tidak tersentuh dunia pendidikan. Dikarenakan mahalnya pendidikan saat ini dan apabila menunggu pemerintah tentunya akan sangat lama dan kita tidak akan mengetahui perkembangannya lebih cepat. Startup pengabdian ini akan mengumpulkan SDM-SDM yang dengan sukarela mau memberikan ilmu pada anak-anak usia dini yang membutuhkan pendidikan.
Akan jauh lebih baik lagi jika bentuk pengabdian tersebut dapat dijadikan kurikulum wajib dalam perkuliahan sehingga perlahan terciptanya pemerataan pendidikan di Indonesia. Sinergisitas yang positif tersebut diharapkan dapat mengubah pola pikir masyarakat Indonesia akan pentingnya pendidikan. Dikhususkan untuk daerah 3T (Terdepan, Terluar dan Tertinggal) yang memang masyarakat disana sangat mengharapkan kehadiran Role Model yang sekaligus bisa menjadi mentor dalam membimbing anak-anak disana dan sekaligus menjadi motivasi mereka.

Comments